ASAL USUL KAMPUNG TERATE UDIK, KAMPUNG MASIGIT KECAMATAN CILEGON, KOTA CILEGON BANTEN
AKISAH di suatu desa berdirilah sebuah mushola kecil,
tempat beribadah masyarakat yang berada di sekitarnya. Selain menjadi
tempat ibadah, mushola tersebut sering dipakai untuk bermusyawarah,
hingga akhirnya mushola itu dijadikan tempat berkumpul masyarakat untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan sehari-hari.
Pada
suatu hari, datanglah masyarakat berbondong-bondong ke mushola kecil
tersebut. Mereka menemui ustadz Wahid, pengurus mushola itu. Pak Ahmad,
salah seorang warga masyarakat, maju ke depan dan bercerita kepada ustadz Wahid bahwa terjadi perselisihan perkara tanah antara Pak Tio dan Pak Sidik di balai
desa. Ustadz Wahid diminta oleh masyarakat agar menyelesaikan perkara
tersebut. Ustadz Wahid pun pergi ke balai desa. Di balai desa, Ustadz
Wahid berbicara
dengan kedua belah pihak. Masing-masing pihak mengakui bahwa tanah
kosong di belakang mushola tersebut adalah miliknya. Tentu saja hal itu
sangatlah tidak mungkin. Lalu ustadz Wahid meminta kepada masing-masing
pihak untuk berkata sejujur-jujurnya dan apa adanya. Namun hingga
senja tiba, kedua belah pihak tetap mengakui bahwa tanah itu milik
mereka masing-masing. Ustadz Wahid heran. Kemudian ustadz Wahid memberi
usul, bagaimana kalau tanah itu dibagi dua saja. Tapi masing-masing
pihak menolak usulan ustadz Wahid, dan bersikeras terhadap
pendiriannya masing-masing. Sampai larut malam mereka masih tetap
seprti itu. Usatdz Wahid akhirnya memutuskan bahwa perkara ini akan
diselesaikan besok pagi di mushola tempat ia tinggal. Dan masing-masing
pihak diminta untuk menyiapkan seorang saksi.
Keesokan
harinya, kedua belah pihak itu datang ke mushola. Setelah saksi kedua
belah pihak datang, barulah musyawarah itu dimulai. Saksi dari kedua
belah pihak diminta maju ke depan untuk disumpah. Satu persatu saksi
pun disumpah dengan memakai sehelai selendang di hadapan kitab suci Alqur'an.
"Saya berjanji di mushola ini,
di depan Al-qur'an, demi Allah bahwa tanah yang ada di belakang
mushola ini adalah milik Pak Sidik. Saya yang melihat dan mendengar
dengan kepala dan telinga saya sendiri. Ki Ahmad memberikan wasiatnya
kepada Pak Sidik sebelum meninggal!" ucap Rahmat, saksi dari pihak Pak
Sidik.
"Benar?" tanya Ustadz Wahid.
"Semua itu bohong belaka, Ustadz. Kalian tak boleh berkata seenaknya. Kami dari pihak Pak Tio, sudah mempunyai bukti yaitu surat wasiat KI Ahmad. Surat ini baru kami dapatkan dari orang yang biasa membersihkan kamarnya. Surat ini ditemukan di bawah kasur tempat tidurnya Ki Ahmad!" jelas Randik, saksi dari pihak Pak Tio sambil memperlihatkan surat wasiat tersebut.
Semasa hidupnya Ki Ahmad dikenal sebagai sesepuh desa yang dikenal juga sebagai ulama. Namun sayang,
sampai akhir hayatnya Ki Ahmad belum pernah menikah dan tidak
mempunyai anak. Sementara itu, kekayaan milik Ki Ahmad tidak ada yang
mengurusnya. Hingga akhirnya orang-orang terdekatnya yang dianggap
sebagai anak angkat oleh Ki Ahmad sekarang sedang berebut harta kekayaan milik beliau.
Akhirnya, dengan melihat beberapa saksi dan bukti yang meyakinkan, Ustadz Wahid bersama ulama-ulama yang lain memutuskan tanah itu adalah milik Pak Tio. Semua yang mendukung Pak Tio bertepuk tangan gembira. Sementara pihak dari Pak Sidik terlihat muram dan sedih.
Pada
malam harinya terdengar berita bahwa Randik, saksi dari pihak Pak Tio
tiba-tiba jatuh sakit. Menurut tabib yang memeriksanya, ia terkena
penyakit keras yang sudah sangat parah. Beberapa hari kemudian ia
meninggal dunia. Pak Tio ketakutan. la merasa bersalah telah menyuruhya
untuk bersumpah palsu di hadapan seluruh warga desa. Akhirnya, Pak Tio
mengaku bahwa dirinya telah berdusta dan membuat surat
wasiat palsu. Pada malam harinya, rumah Pak Tio habis dilalap api.
Istri dan anak-anak Pak Tio dapat diselamatkan. Namun Pak Tio tidak
bisa diselamatkan lagi. Itulah takdir yang harus Pak Tio terima, karena
ia telah membohongi seluruh warga desa. Dari kejadian itu warga desa
pun menerima hikmahnya. Kemudian diputuskan bahwa sisa-sisa kekayaan Ki
Ahmad akan diwaqafkan dan dipakai untuk membangun mushola dan desa.
Semenjak
peristiwa yang menimpa Pak Tio, tak pernah lagi terdengar perselisihan
perkara tanah. Namun beberapa waktu kemudian masalah-masalah kembali
bermunculan.
Pada suatu malam, terdengar ada
seseorang berteriak meminta pertolongan. Ustadz Wahid mendengarnya.
Ustadz Wahid pun pergi untuk mencari
dari mana asal suara tersebut. Setelah sampai di tempat asal suara
tersebut, ustadz Wahid melihat sudah banyak warga desa berdatangan.
"Ada apa ini?" tanya ustadz Wahid heran.
"Begini,
Pak Ustadz, rumah Fatimah kecurian. Semua barang-barang berharganya
dibawa kabur oleh pencuri!" jawab orang yang menyaksikan peristiwa
tersebut. Kemudian ustadz Wahid masuk ke dalam rumah Fatimah. Ustadz
Wahid menemukan Fatimah sedang menangis. Lalu ustadz Wahid berusaha
menenangkannya. Setelah Fatimah tenang, ustadz Wahid pamit pulang dan
ustadz Wahid berjanji akan mencari pencurinya.
Pada
keesokan paginya, ada seseorang yang datang ke mushola untuk menemui
ustadz Wahid. Orang itu bermaksud untuk berkenalan dengan ustadz Wahid.
Orang itu adalah seorang warga yang baru pindah dari kampung sebelah
yang bernama Fikar. Orang itu meminta ustadz Wahid datang bersama
beberapa warga desa lainnya untuk menghadin syukuran. Ustadz Waliid
menerimanya dan ia berjanji akan mengajak teman-teman warga desa
lainnya. Sesampainya di rumah Pak Fikar, ustadz Wahid dan warga desa
yang lainnya disuguhi berbagai macam makanan yang enak dan lezat.
Semuanya merasa senang termasuk ustadz Wahid, terkecuali Pak Umar, suami
dari Fatimah yang baru kemarin malam kecurian. Pak Umar merasakan ada
sesuatu yang aneh mengganjal di hatinya. Benar saja, ia melihat emas
milik istrinya dipakai istrinya Pak Fikar dan ia Juga melihat kalau Pak
Fikar memakai cincin batunya yang hilang kemarin malam. Tentu saja Pak
Umar merasa curiga, jangan-jangan pencurinya adalah Pak Fikar bersama
komplotannya.
Setelah acara usai, terlihat Pak Umar sedang terdiam di teras depan rumah Pak Fikar. Lalu ustadz Wahid menghampinnya.
"Ada apa, Pak Umar? Saya melihat anda dari tadi diam saja," tanya ustadz Wahid.
"Pak
ustadz, saya merasa ada yang aneh di sini. Saya melihat emas milik
istri saya dipakai oleh istrinya Pak Fikar. Saya juga melihat cincin
batu peninggalan bapak saya dipakai oleh Pak Fikar" jelas Pak Umar.
"Mungkin kebetulan saja macam dan bentuknya satna!" ustadz Wahid mengelak.
"Tidak,
ustadz. Saya yakin bahwa Pak Fikar adalah seorang pemimpin komplotan
pencuri yang merampok rumah saya kemarin malam. Tidak mungkin ada emas
yang sama seperti milik istri saya, karena saya khusus memesan satu
untuk istri saya. Dan cincin batu itu bapak saya yang membuatnya. Jadi,
tidak mungkin ada yang menyamainya. Apalagi dari kampung sebelah."
"Awalnya
saya juga merasakan ada sesuatu, tapi perasaan itu hilang saat saya
mengetahui kalau Pak Fikar adalah anak dari kakaknya Ki Ahmad. Tapi
perasaan itu sekarang muncul kembali setelah saya dengar pengakuan dari
Pak Umar!" ucap ustadz Wahid setengah terkejut. Setelah ustadz Wahid
pulang, Pak Umar dan beberapa kawannya mencoba menemui Pak Fikar.
Pak
Umar mengetuk pintu. Istri Pak Fikar yang membukanya dan memberitahu
kalau Pak Fikar sudah tidur. Kemudian, kawan-kawan Pak Umar mencobanya.
Dan ternyata, mereka berhasil menemui Pak Fikar. Mereka mencoba
mencari tahu tentang cincin dan emas yang ada di tangan Pak Fikar dan
istnnya. Sementara itu Pak Umar mengintip dan balik dinding tembikar.
`'0h, ya, Pak Fikar. Cincin yang anda pakai bagus sekali. Dapat dan mana cincin itu?"
"Cincin
ini saya dapat kemann dari kakak saya. Saya baru saja mendapatkan
warisan yang cukup besar dari kakak saya. Selain itu saya juga mendapat
emas dari kakak saya!" jawab Pak Fikar. Namun,
kawan-kawan Pak Umar tetap tidak percaya karena emas dan cincin batu
yang dipakai Pak Fikar dan istrinya sudah sering mereka lihat dipakai
Pak Umar dan Bu Fatimah. Seusai mereka berbasa-basi, akhirnya
kawan-kawan Pak Umar pulang ke rumahnya masing-masing.
Pada
pagi harinya, Pak Umar dan kawan-kawan menemui ustadz Wahid di
mushola. Mereka bermaksud untuk melaporkan yang telah terjadi semalam.
Menurut Pak Umar dan kawan-kawan, jawaban Pak Fikar kurang masuk akal
dan jelas terbukti bahwa Pak Fikarlah yang telah mencuri barang-barang
berharga milik Pak Umar dan Bu Fatimah. Di saat Pak Umar dan Bu Fatimah
kehilangan, Pak Fikar dan istrinya mendapatkan barang-barang tersebut.
Pak Umar dan kawan-kawannya sangat geram, dari ingin segera mengusir
Pak Fikar dan istrinya dari desa ini. Pak Umar dan kawan-kawannya
membuat sebuah rencana. Mereka akan melabrak rumah Pak Fikar, dan
mencari barang-barang yang bisa dijadikan sebagai bukti, Tapi rencana
mereka gagal karena telah diketahui ustadz Wahid, dan ustadz wahid
menghalau mereka di tengah jalan. Ustadz Wahid memutuskan untuk bicara
baik-baik dengan Pak Fikar. Ustadz Waiiid akan mengajak Pak Fikar
bersumpah di mushola esok harinya.
Matahari telah
kembali di ufuk Timur, sinar kembali terang. Pagi-pagi sekali Pak Umar
dan istrinya datang beserta kawan-kawannya. Tak lama kemudian Pak Fikar
dan istrinya tiba di mushola. Setelah ustadz Wahid mempersiapkan
segala sesuatunya akhirnya Pak Fikar disumpah. Pak Fikar harus berkata
sejujur mungkin dengan apa adanya.
"Saya berjanji,
demi Allah bahwa saya tidak pernah mencuri barang-barang dari rumah Pak
Umar!" janji Pak Fikar. Seusai Pak Fikar disumpah, mereka pulang ke
rumahnya masing-masing.
Seminggu kemudian tersiar
kabar bahwa Pak Fikar menderita penyakit yang sangat aneh. Tubuhnya
berbau seperti ikan, di kulitnya tumbuh bisul-bisul yang sangat
menjijikan. Semua anggota tubuhnya lumpuh. Sehingga istrinya tak tahan
merawat suaminya lagi, dan istrinya pergi meninggalkannya. Beberapa
hari kemudian Pak Fikar meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah makam
kakaknya.
Berita meninggalnya Pak Fikar membuat
seluruh warga menjadi geger. Sehingga seluruh warga desa menganggap
mushola itu adalah tempat bersumpah keramat. Dan kabar itu terdengar
oleh warga desa seberang, sehingga banyak orang-orang yang sengaja
ingin mengunjungi mushola tersebut. Pada suatu saat datang warga desa
berbondong-bondong ke mushola tersebut. Mereka meminta bantuan kepada
ustadz Wahid untuk menyumpah seseorang yang dituduh sebagai penjarah di
pasar. Ustadz Wahid menyanggupinya. Tidak lama kemudian penyumpahan
pun dimulai.
"Saya bersumpah demi Yang Maha
Pencipta, bahwa saya tidak pernah menjarah di pasar atau pun di tempat
lainnya.!" janji orang tersebut. Beberapa minggu kemudian, tidak pernah
terjadi apa-apa terhadap orang tersebut. Dan ia dinyatakan tidak
bersalah. Semenjak saat itu warga desa menganggap bahwa mushola itu
adalah tempat yang harus dijaga dan dilestarikan. Dan akhirnya mushola
itu diperbesar dan dijadikan masjid tempat untuk beribadah.
Dari
peristiwa tersebut kita bisa mengambil banyak hikmah, bahwa kebaikan
itu akan selalu terbukti dan kejahatan pasti akan diketahui walau
sekecil apapun. Selain itu kita harus pintar menjaga mulut, agar mulut
kita tidak dipergunakan untuk bersumpah sembarangan.
Masjid
Terate Udik, itulah nama masjid yang biasa dipakai oleh orang-orang
sebagai tempat bersumpah. Akan tetapi, hanya orang-orang yang
benar-benar dan bersungguh-sungguhlah yang mau bersumpah di masjid ini.
Sampai sekarang masjid ini masih ada dan dijaga serta dilestarikan
karena masih dipercayai sebagai masjid sumpah. Namun sayangnya, Masjid
Terate Udik yang berada di kampung Terate Udik, desa Masigit, kecamatan
Cilegon, kota
Cilegon konon ceritanya tidak bisa diabadikan oleh kamera atau pun
sejenisnya. Karena hasilnya tidak akan pernah jadi. Begitulah Masjid
Terate Udik, masjid yang banyak menyimpan masalah-masalah yang tak
terpecahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar